Laman

Rabu, 28 Desember 2011

Opini: Politik Gaga (mencoba sok berpolitik)





Saya tidak begitu paham dunia politik dan tidak mengerti bagaimana cara berbicara dan mengeluarkan pendapat dengan gaya pengamat politik. Namun, saya selalu mengikuti perkembangan politik dengan setengah hati, maksudnya berusaha meraba-raba maksud dari intrik politik yang disebut di dalam berita.

Hampir tiga bulan ini saya kebetulan berkesempatan magang menjadi jurnalis di sebuah portal berita online, dan mau tidak mau saya setiap hari harus bersentuhan dengan dunia politik, mengais-ngais berita dari dalam sana. Mulai dari menelepon narasumber dengan melakukan improvisasi pertanyaan, manuver penyelidikan dan berusaha menyinggung seksinya sumber berita, yang terakhir ini benar-benar harus ekstra berani.
Saya juga melakukan liputan lapangan, tentunya dengan obyek pemberitaan mayoritas adalah politik yang cenderung tertuju pada kritik ke pemerintahan saat ini. Saya menemukan banyak sekali mereka yang lantang mengkritik, benar-benar kritik negatif yang saya rasa atas dasar pengamatan permukaan saja, hingga menemukan kritikan yang cerdas, kritikan yang tidak hanya asal mengkritik namun juga menjabarkan ide solusi pemecahan.
Kritik yang cerdas ini menganggap obyek kritikannya sebagai sosok yang khilaf dan berusaha untuk mengembalikannya ke jalan yang lurus, sedangkan yang hanya mengkritik saja justru lebih senang mencari celah keburukan si obyek kritikan tersebut tanpa berpikir jauh ke depan, asal mencerca.
Kebetulan kantor tempat saya magang berjarak beberapa meter saja dari kantor KPK, dan hampir setiap hari selalu saja ada aksi unjuk rasa menuntut peningkatan kinerja dalam memberantas korupsi disana. Dari tuntutan mengusut korupsi di daerah, lembaga atau badan publik hingga menyinggung kasus paling heboh di negeri ini, yang berkaitan dengan Nazaruddin.
Saya pernah bertanya pada beberapa orang peserta aksi unjuk rasa sebuah LSM penentang pemerintahan saat ini ketika sedang meliput aksi mereka di kawasan Menteng. Pertama saya bertanya dengan salah satu tokoh dalam LSM tersebut, oke jawabannya masih masuk akal walaupun sedikit dibuat lebay. Nah, ketika saya bertanya pada salah satu peserta aksi tersebut, satu dari mayoritas anak muda yang ikut, dia malah senyum-senyum nggak jelas ketika ditanya mengenai tujuan dan pendapatnya mengenai hal yang disinggung dalam aksi tersebut.
Saya bertanya, bukannya di jawab malah balik bertanya pada teman-teman di sekitarnya, lah saya kan jadi bingung. Akhirnya mereka pun mengaku bahwa mereka hanya ikut-ikutan saja tanpa mengerti lebih jauh mengenai tujuan aksi unjuk rasa tersebut, yang menyedihkan dan membuat miris adalah mereka mengaku tertarik akan bayaran yang ditawarkan oleh LSM bersangkutan dibandingkan esensi dari aksi tersebut.
Pernah juga saya menghadiri sebuah diskusi terbuka yang diadakan oleh sebuah partai besar dan temanya mengenai kemajuan Indonesia di masa depan. Awal-awal berjalan sangat interaktif, namun ketika sampai di sesi tanya jawab justru berubah memanas. 

Ada seorang anak muda bertanya pada pembicara di mimbar mengenai kemungkinan penerapan ide yang disampaikan pemuda tersebut untuk sumbangsih kemajuan Indonesia di masa depan. Para pembicara di depan terbuka menerima pertanyaan tersebut, namun salah satu tetua partai tersebut yang duduk tak jauh dari mimbar pembicara mendadak tersulut emosinya oleh pertanyaan kritis anak muda ini.
Si bapak tetua ini, entah karena pertanyaan tersebut membuat partai tempatnya bernaung serasa diserang atau bagaimana, langsung menunjuk pemuda yang bertanya itu dengan telunjuknya dan berkata keras seperti ini, “Kamu tau apa?” (maaf saya hanya ingat dialognya seperti itu). Bapak tetua ini dengan bangga tingkat dewa menjelaskan bahwa dia adalah sesepuh di partai tersebut dan dia merasa lebih tahu banyak hal di bandingkan si pemuda ini. Masih dengan tudingan jari telunjuknya, bapak ini  justru mengecam pertanyaan tersebut dan menyebutnya tidak bersubtansi.
Lho bukankah kritik itu tidak dilarang, toh yang saya lihat pemuda ini mengkritik dengan cerdas bukan asal komentar saja. Moderator pun sampai turun tangan mendinginkan suasana hati bapak tetua ini dan berusaha menyampaikan dengan bijak pada para pembicara untuk menjawab pertanyaan pemuda ini.
Ada lagi tentang salah seorang teman saya yang antusias sekali berbicara mengenai politik, bahkan mungkin lebih antusias dari dosen filsafat saya ketika diajak berdiskusi mengenai politik negeri ini. Saya kagum dengan gaya bicaranya yang tegas dan lugas, dia banyak tahu mengenai perpolitikan di negeri ini. Satu yang menonjol dari dia adalah ketika mengkritik pemerintahan saat ini, sangat pedas sekali seolah-olah mereka yang memerintah Indonesia saat ini adalah orang-orang yang bersalah pada negara. Kadang saya sampai merinding sendiri jika mendengar ia berbicara penuh luapan tentang hal ini.
Pernah suatu ketika saya memberanikan bertanya tentang kira-kira apakah ada ise solusi darinya untuk hal ini? Dia langsung diam mungkin sekitar lima menit dan kemudian menjawab dengan jawaban yang berputar-putar dan membingungkan. Saya waktu itu langsung memotong saja dan mengutarakan ide yang ada di kepala saya. Ajaib, dia justru mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dan akhirnya baru bisa berbicara lagi setelah saya berpendapat. Padahal saya rasa jawaban saya sangatlah sederhana, tidak menggunakan bahasa tingkat tinggi untuk beropini.
Oke, saya tahu sekarang bahwa dia bukan tipe born to lead tapi hanya follower saja. Jujur saya waktu itu bangga bisa membuat dia kikuk, hahaha, jangan sombong Happy!
Intinya disini saya hanya ingin berpendapat saja, bahwa ketika kita hendak berbicara politik, mengkritik ataupun memuji, perlu juga dilihat lagi substansi yang hendak disampaikan itu seperti apa. Boleh kita panas dalam debat namun jangan hanya cadas di omongan belaka saja, mengkritik tanpa mengkritisi, namun juga perlu ada tujuan jelas di balik itu.
Beda lho arti mengkritik dan mengkritisi, kalau mengkritik itu hanya membicarakan sisi yang tidak disuka saja dan men-judge bahwa yang salah tersebut sepenuhnya memang salah. Sedangkan mengkritisi itu melihat bahwa suatu kritikan itu perlu diikuti oleh ide positif di belakangnya, melihat suatu masalah bukan hanya dari satu sisi tapi dari segala sisi, cover all sides.
Saya rasa hal ini juga perlu diingat, ketika kita mengkritisi tentang suatu masalah, janganlah kedepannya nanti kita justru termakan oleh kritisasi kita sendiri karena kita ternyata menjadi orang yang dulu pernah kita kritik. Ini pernah terjadi pada beberapa orang dan saya rasa beberapa diantaranya adalah nama-nama familiar yang sering kita lihat.
Saya berpendapat seperti ini karena saya prihatin dengan sikap kritis teman-teman saya pada politik yang mayoritas justru lebih pada kritik belaka, seolah-olah semuaya salah. Akan lebih baik jika melihat juga tentang kemungkinan-kemungkinan positif di belakangnya untuk  kemajuan hal-hal yang dikritisi tersebut.
Referensi saja nih, saya terkagum-kagum dengan gaya berpendapat politikus muda Yunarto Wijaya dari LSM Charta Politica, walaupun aslinya saya baru dua kali bertemu dengan yang bersangkutan. Dia tegas dan kritis dalam berpendapat, yang menarik adalah dari setiap pendapat yang ia lontarkan pasti akan dibahas dari berbagai sudut sehingga menghasilkan opsi solusi yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak berat sebelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar