Laman

Selasa, 27 Desember 2011

Pembenaran Untuk 4L4Y (Alay)

Kenapa muncul istilah ‘alay’? saya juga tidak tahu asal mulanya bagaimana, tapi yang pasti saya yakin itu adalah bentuk ketidakpahaman mereka-mereka yang ‘kejepit’ paham modernisasi dalam arti sempit.
Selalu saja sesuatu yang dinilai alay diasosiasikan dengan kampungan, tidak berpendidikan dan miskin gaya. Hello? Dimana sih pikiran kita sebagai kaum yang ‘katanya’ intelektual’ dalam menyikapi hal ini? Kita seakan menutup mata melihat itu semua, membuat mereka yang bergaya alay terasa sepat di mata kita. Sebenarnya secara tidak langsung kita sedang membodohi diri sendiri dengan membencinya.

Saya ingat sebuah kata bijak, tapi lupa siapa yang mengucapkanya, dia bilang bahwa ‘menjadi pintar itu bukan berarti menganggap diri sendiri pintar dan memandang bodoh orang lain’. Hayo, pasti kalau melihat yang alay pasti kita berpikiran bahwa si alay ini bodoh? Ya secara tidak langsung beranggapan seperti itu, kan? Ngaku!
INGAT MANUSIA TIDAK ADA YANG BODOH, hanya saja daya kreatif memang diakui tidak tersebar sama rata, jadi menjadi alay adalah sebuah pilihan untuk menunjukkan sisi kreatif walaupun mungkin telah menjadi sesuatu yang tidak eksklusif dan bersifat massal.
Nah, berbicara massal, kita sebagai manusia-manusia yang beruntung dapat menjadi lebih sedikit intelek, tentu semakin paham akan berbagai hal kreatif yang memiliki keunikan masing-masing. Untuk mengaksesnya pun kita dipermudah dengan pengetahuan yang kita punya, yang Alhamdulilah lebih tinggi sedikit dari mayoritas rakyat negeri ini. Itu semua adalah kelebihan kita.
Lalu bagaimana dengan mereka yang kurang seberuntung kita? Dalam mengekspresikan diri mereka juga ingin terlihat stunning  alias menakjubkan seperti yang banyak kita idamkan, namun akses untuk menuju kesana sangat sedikit karena rendahnya pengetahuan yang mereka dapat.
Akses pengetahuan untuk menjadi lebih modern di negeri ini yang paling ampuh adalah televisi. Si kotak kaca ini sukses menyebarkan virus ala budaya populer massal ke seluruh pelosok negeri. Dan mereka-mereka yang (maaf) tidak secanggih kita, tentu akan memakan mentah-mentah hal tersebut dan menganggapnya keren sehingga mereka pun mengikutinya. Sepertinya tidak ada istilah being a trendsetter, not a follower di kamus mereka, lha wong akses untuk menjadi modern saja masih kurang sekali datangnya dari pemerintah.
Lalu jadilah mereka bergaya ala Kangen Band, Pee Wee Gaskins dan SM*SH, beberapa nama yang menjadi panutan mainstream. Hey, apa mereka semua kampungan? TIDAK! Mereka semua adalah trendsetter sejati yang mampu ‘merekrut’ banyak sekali pengikut hingga tercipta gaya ala mereka yang mudah sekali kita temui di berbagai tempat. Mereka memiliki kelebihan masing-masing yang membuat mereka menonjol, Kangen Band dengan lagu sederhana yang easy listening, Pee Wee Gaskins yang berhasil menunjukkan sikap rebel namun berkarakter dan SM*SH yang membuka genre baru di peta musik Indonesia dengan kualitas yang tidak bisa dikatakan ecek-ecek. Mereka semua adalah fenomena, dan mau tidak mau kita pun harus mengakui itu.
Kita tidak tahu pasti kan apa alasan dibalik mereka yang berpenampilan yang kita nilai ‘alay’ ini, karena kita masih berpikiran sempit. Siapa tahu dibalik itu semua, mereka terinspirasi oleh idola mereka sehingga terpacu untuk menjadi lebih maju dan bahkan meninggalkan kita jauh di belakang.
Manusia diciptakan berbeda, pilihan untuk bergaya seperti apa pun adalah hak manusia, kenapa juga kita harus repot? Baru repot itu kalau ada yang memproklamirkan diri sebagai kaum nudis di tengah kota, nah wajib menghujat tuh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar