beragam dan harga yang lebih murah dibandingkan membayar untuk media cetak konvensional.
Namun, ada sebuah pengecualian terhadap satu jenis media cetak yang masih mampu bertahan dengan kuat di tengah arus perubahan digital yang kian cepat, jenis media cetak tersebut adalah majalah. Majalah merupakan media cetak yang memiliki tiras penjualan terbesar, lebih dari 300 juta eksemplar terjual setiap bulannya di seluruh dunia dan mencatat jumlah pengiklan yang stabil bahkan untuk beberapa jenis majalah seperti majalah mode dan gaya hidup, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. (dari data riset Hearst Publishing House, salah satu imperium publikasi besar dunia)
Majalah memiliki banyak jenis tema yang menyasar ke beragam segmentasi pembaca sehingga menghasilkan ceruk pembaca yang loyal. Sajian informasi yang ditampilkan juga menyesuaikan dengan tema yang diusung sehingga memiliki karakter yang kuat untuk pembaca, seperti contoh majalah olahraga, gaya hidup dan lain sebagainya. Bahkan beberapa majalah menjadi panutan besar masyarakat modern seperti majalah Vogue yang menjadi kiblat mode dunia, majalah Time yang menjadi pemimpin di isu politik, majalah The New Yorker yang menjadi ‘pegangan hidup’ warga kota New York hingga majalah National Geographic yang menjadi sumber ilmu pengetahuan yang menyenangkan.
Majalah juga merupakan ladang iklan yang sangat potensial bagi industri media cetak, dimana harga sewa iklan, sekecil apapun ukurannya, masih lebih mahal daripada iklan di koran atau tabloid. Terlebih jika sebuah majalah telah mendapatkan positioning kuat, maka deretan pengiklan akan mengantri bahkan sampai menimbukan sistem lelang. Siapa yang memasang tinggi harga sewa iklan, maka ia yang akan berhak beriklan di majalah bersangkutan. Ada beberapa contoh majalah yang menjadi incaran utama pengiklan seperti majalah Tempo, Femina dan Bobo.
Majalah juga merupakan satu-satunya jenis media cetak yang dapat diwaralabakan ke seluruh dunia. Mengusung konsep dan tema yang sama dengan induknya, namun disajikan dengan pendekatan yang agak lokal untuk menjaring pembaca. Waralaba majalah sendiri mulai berlangsung sejak awal 70-an dimana era globalisasi kian berkembang. Majalah dalam beberapa hal juga menjadi alat propaganda pihak-pihak tertentu untuk meluaskan pengaruhnya di dunia. Strategi tersebut sukses, setidaknya sebut saja serbuan waralaba majalah gaya hidup yang berhasil menyuburkan gaya hidup kosmopolitan di seantero dunia. Satu contih majalah gaya hidup yang dapat ditemukan dengan mudah di berbagai belahan dunia adalah majalah Elle, majalah mode dan gaya hidup perempuan yang bercita rasa modern. Walaupun secara gengsi, masih kalah jauh dengan majalah Vogue, namun Elle berhasil mengukuhkan diri sebagai majalah mode terlaris di dunia yang terbit dalam 54 edisi bahasa berbeda..
Waralaba majalah juga merambah Indonesa dengan pionirnya adalah majalah Cosmopolitan yang menggebrak tanah air di akhir dekade 90-an. Konsep yang ditawarkan pun terbilang berani dengan slogan fun fearless female magazine, majalah ini menjadi majalah perempuan yang ‘frontal’ di Indonesia ketika isu kebebasan berekspresi mulai menapaki jalannya pasca runtuhnya orde baru yang konservatif. Berlanjut setelahnya, bermunculan majalah-majalah terkemuka dunia dalam bahasa Indonesia dengan tema yang semakin beragam dan berani. Tentu masih ingat dengan majalah Playboy Indonesia yang sempat terbit tiga kali, namun dengan kecaman disana-sini hingga akhirnya berhenti terbit.
Terlepas dari isu kian terancamnya media cetak oleh gerusan media digital yang sangat cepat, majalah tetap hadir sebagai sebuah kekuatan dari dunia cetak. Sebuah kekuatan yang diharapkan kelak dapat melanggengkan bentuk media cetak di tengah-tengah kehidupan yang serba digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar